Kala Luhut Dan Sri Mulyani Kompak : Masyarakat Indonesia Ngawur Dan Sakit Jiwa

Sri Mulyani Sebut Ngawur, Luhut Bilang Sakit Jiwa : Indonesia Tak Sama Dengan Sri Lanka!
Kala Luhut Dan Sri Mulyani Kompak : Masyarakat Indonesia Ngawur Dan Sakit Jiwa
Sri Mulyani dan Luhut menyebut masyarakat “ngawur” sebut Indonesia bakal ngikut jejak Sri Lanka lantaran utang yg sudah capai Rp 7.002,24 triliun.
Luhut bahkan menyebut masyarakat yg menyamakan situasi Indonesia dengan Sri Lanka, “sakit jiwa”.

Pernyataan luhut bertumpu pada kuatnya ekonomi Indonesia yg diukur berdasarkan positifnya kinerja perdagangan luar negeri selama 26 bulan berturut-turut.

Meminjam data terkahir BPS, luhut menyebut, kinerja perdagangan pada Juni 2022 surplus US$ 5 miliar dikarenakan positifnya nilai ekspor US$ 26.09 miliar, lebih tinggi dari impor US$ 21 miliar.

Meskipun data kinerja perdagngan terkahir BPS mencatat untung, bukan berarti niali untung tersebut menjadi dasar kepantasan Luhut menyebut, risiko utang Indonesia kategori aman.

Secara teoritik, salah satu standar aman utang paling layak adalah membandingkan total utang dengan kemampuan negara dalam menghasilkan Dollar AS dari proses ekspor. Jika nilai ekspornya tinggi, maka semakin baik rasio kemampuan negara melunasi hutang.

Untuk mengukur hal tersebut, teori ekonomi makro menyodorka rasio Debt to Service Ratio (DSR). Secara rigid, DSR merujuk pada jumlah cicilan pokok utang luar negeri dan bunga dibagi dengan jumlah penerimaan pendapatan ekspor.

BI mencatat, saat ini DSR Indonesia 41,4%. DSR tersebut menunjukan bahwa risiko utang Indonesia tidak aman. Berada pada level risiko gagal bayar utang “lampu kuning menuju lampu merah”. Jauh melampaui batas aman yg disodorkan IMF dan International Debt Relief (IDR) dengan rasio layak sebesar 25%-35%.

Dengan, kenyataan ini, rakyat berhak berbalik “menyumpal” mulut Luhut. DSR yg darurat menunjukan pikiran rakyat sehat. Sebaliknya, Luhut yg tidak waras, sakit jiwa !!!

Selain Luhut, Sri Mulyani juga keliru menyebut utang Indonesia aman. Seperti yg beredar di media masa, “menteri keuangan terbalik” menggunakan Cadangan Devisa dan PDB sebagai indikator utama standar aman utang.

Menurutnya, mengutip data BI, Sri Mulyani menyebut, cadangan devisa Indonesia Juni 2022, US$ 136.4 miliar. Jumlah tersebut melampaui standar aman internasional untuk penuhi kebutuhan bayar cicilan utang lebih dari 3 bulan dan bayar impor lebih dari 7 bulan.

Berbeda dengan Sri Lanka. Nilai cadangan devisa Maret 2022 US$ 1.72 miliar sementara utang yg harus dibayar US$ 51 miliar. Maka pantas bila terjadi krisis.

Sekilas terbaca masuk akal. Secara kuantitatif bisa diterima. Tapi jika dibedah secara kualitatif dengan memilah sumber dan struktur cadangan devisa Indonesia, barulah terbongkar boroknya. Dengan jumlah cadangan devisa sebanyak itu, tidak ada yg dimiliki oleh Indonesia selain uang panas.

Kenapa ? Karena mayoritas cadangan devisa nasional bersumber dari utang yg diperoleh dari penjualan surat utang (oblogasi) pemerintah atas nama investas di pasar uang.

Teori ekonomi makro menjelaskan, cadangan devisa diperoleh dari kinerja neraca pembayaran, sementara kinerja neraca pembayaran, salah satunya, diperoleh dari transaksi modal dan finansial.

BI menyebut, Kinerja transaksi modal dan finansial pada triwulan I 2022 tetap terjaga di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi akibat krisi goobal saat ini. Hal tersebut dibuktikan lewat membaiknya defisit dari US$ 2.2 miliar pada periode sebelumnya menjadi US$ 1,7 miliar (0,5% dari PDB).

Perbaikan dikarenakan optimisme investor terhadap prospek pemulihan ekonomi domestik dan iklim investasi sehingga mendorong peningkatan aliran masuk neto investasi pada pembelian surat utang negara secara langsung pada sebesar US$ 4,5 miliar, lebih besar dibandingkan dengan capaian pada triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar US$ 3,8 miliar.

Bagi pemerintah pencapaian ini adalah prestasi. Tapi bagi saya “sangat memalukan”. Sebesar apapun penerimaan dari penjualan obligasi, tetap saja rentan, pasalnya, bahasa lain dari penerimaan tersebut adalah “pemerintah berhasil mengambil utang dari investor di pasar lewat penjualan obligasi”.

Selanjutnya penerimaan dari utang obligasi tersebut, memicu kenaikan cadangan devisa pada juni 2022 menjadi US$ 136.4 miliar. Kemudian, cadangan devisa yg sumbernya berasal dari dorongan utang itu, disebut aman karena mampu melunasi utang indonesia di atas standar 3 bulan secara internasional.

Sekali lagi, memalukan. Cadangan devisa yg dijadikan standar aman utang, ternyata bersumber dari dorongan utang. Jadi utang digunakan untuk membayar utang. Gali lubang tutup jurang !!!

Selanjutnya, Sri Mulyani menggunakan PDB sebagai standar aman utang. Data kemenkeu menyebut, rasio utang terhadap PDB saat ini capai 38.88%, masih jauh dari batas maksimal 60%.

Leave a Reply